Rabu, 13 Maret 2013

PETA NOVEL SETELAH TAHUN 2000-an Oleh Aprinus Salam



            Sebagai konsekuensi terakumulasinya kemampuan teknologis masyarakat Indonesia, di Indonesia beberapa tahun ini mengalami banyak perubahan penting. Salah satu yang paling signifikan dalam dunia kesusastraan adalah terjadinya ledakan penerbitan buku-buku bacaan cerita (katakanlah novel), mulai dari berjenis teenlit, chicklit, novel sastra pada umumnya, termasuk di dalamnya antologi cerpen dan puisi, dan sebagainya.
Saat ini, kita menjadi tidak tahu siapa saja penulis karya sastra Indonesia, semua orang menjadi penulis sastra. Khususnya teknologi komputer sangat membantu dan memudahkan kemampuan tersebut, di samping tentu saja politik ekonomi bahwa dunia kesusastraan sudah memasuki satu fase sebagai ajang yang mengutungkan. Kita tahu, tampaknya krisis moneter seolah hanya terjadi di atas kertas, tetapi kemampuan masyarakat membeli buku justru memperlihatkan peningkatan. Karya-karya tertentu yang terkenal, seperti Dealova, laku dipasaran hingga di atas 90 ribu eksamplar. Jumlah penjualan yang tidak pernah bisa disamai oleh karya-karya Umar Kayam, atau bahkan karya-karya Pramudya Ananta Toer.
Namun demikian, terdapat perbedaan substansial yang penting dibicarakan berkaitan dengan perkembangan novel-novel Indonesia pasca Orde Baru, novel yang ditulis dan diterbitkan setelah tahun 1998, dibanding dengan novel-novel pada periode sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1920-an hingga 1940-an, seperti tampak pada Siti Nurbaya, Azab dan Sengsara, Salah Asuhan, Layar Terkembang, hingga Belenggu, nasionalisme dan identitas personal masih dianggap penting dan tidak beragam. Nasionalisme dan identitas personal pada umumnya mengacu pada geo-politik, etnisitas, atau agama. Pada Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya, bahkan hingga Salah Asuhan, didominasi oleh wacana agama (Islam) sebagai perlawanan terhadap penjajah. Pelegitimasian dengan sumber agama Islam tampaknya menjadi pilihan pertama karena para penulis waktu itu banyak yang dari Minang (Sumatra Barat) yang juga hampir dapat dipastikan beragama Islam.
Pada waktu yang lebih kurang bersamaan, terdapat sejumlah novel lain yang pada umumnya ditulis oleh orang Jawa seperti Student Hijo karya Marco Katodikromo dan Hikayat Kadirun karya Semaoen, karya-karya yang  waktu itu dianggap sebagai “bacaan liar” oleh pemerintah kolonial Balanda. Novel-novel “bacaan liar” itu, juga sebagai perlawanan terhadap pemerintahan yang berkuasa dengan mencoba menggerakan semangat perlawanan berdasarkan ide atau isme sosialisme yang bergelora dan dimaksudkan untuk menggerakkan semangat kerakyatan. Belakangan, setelah pemerintahan Orde Baru turun, buku-buku yang dulu dianggap sebagai “bacaan liar” diterbitkan secara bebas di Indonesia.
Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, seperti tampak pada Sendja di Djakarta dan sejumlah karya Mochtar Lubis lainnya, wacana nasionalisme dan identitas personal yang mengacu pada geo-politik cukup mengental sebagai mobilisasi untuk mengisi kemerdekaan. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, wacana nasionalisme yang mengacu pada geo-politik masih hadir seperti tampak pada Maut dan Cinta karya Mochtar Lubis. Akan tetapi, di lain pihak, seperti tampak pada novel Seribu Kunang-Kunang karya Umar Kayam, Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya, dan Para Priyayi (199) karya Umar Kayam, dan sebagainya, tampaknya wacana tradisonalisme-etnisitas menjadi dominan, atau pada waktu itu biasa disebut sebagai sensivitas lokal (warna lokal). Hal itu terjadi tidak lain sebagai respons terhadap wacana yang dimobilisasi negara seperti Pancasila, pembangunanisme, wawasan nusantara, jati diri bangsa, yang dianggap gagal dalam membangun nasionalisme dan identitas personal.
* * *
Terjadi perubahan penting dalam novel-novel yang terbit di penghujung tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an.  Novel-novel pasca Orde Baru penting untuk dikaji mengingat terjadi perubahan besar konteks sosial-politik dan “ruang ideologis” penulisan novel. Dari tinjauan ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh perubahan wacana novel-novel yang ditulis setelah rezim Orde Baru tersebut. Hipotesis tulisan ini adalah bahwa ruang ideologis dan politis sangat berpengaruh terhadap lahirnya novel sehingga novel-novel pada pasca Orde Baru tampak lebih berani dalam mengusung persoalan yang pada masa Orde Baru dianggap “tabu”.
            Paling tidak terdapat empat kecenderungan besar wacana cerita dari ledakan buku sastra tersebut. Pertama, kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi masyarakat jaringan (meminjam istilah Manuel Castells, 2001). Hal itu ditandai dengan kecenderungan pada sebagian masyarakat Indonesia untuk memilih menjadi bagian dari warga (jaringan) dunia. Dalam sastra hal tersebut ditandai dengan novel-novel Saman (1999) karya Ayu Utami dan Supernova (2001) karya Dewi Lestari, dan beberapa yang lain.
Beberapa novel dalam chicklit dan  teenlit Indonesia, yang terkenal misalnya Dealova (2005), karya Dyan Nuranindya, kemudian novel ini juga difilmkan, para tokohnya hampir tidak pernah berpikir dalam posisi sebagai warga Indonesia. Beberapa tokoh dalam film Cinta Silver (2005) bahkan sudah menjadi bagian dari warga dunia. Pada tahun 2000-an ini Indonesia mengalami ledakan novel dan antologi kumpulan cerita pendek yang jumlahnya ratusan, dengan tema dan motif yang beragam dan variatif.
Kedua, daya tarik wacana kemandirian yang mengedepankan wacana-wacana lokal, dan secara politik adalah praktik desentralisasi yang bertumpu pada kemandirian daerah. Sebagian warga dikondisikan untuk melakukan aktivitas dengan basis lokalnya masing-masing. Dalam kesusastraan, isu dan wacana sastra lokal yang telah ramai dibicarakan pada tahun 1980-an, kembali mendapatkan legitimasinya. Novel Kuntowijoyo dalam Mantra Penjinak  Ular (2000) dan Wasripin dan Satinah (2003), Oka Rusmini dalam Tarian Bumi (2000),  sejumlah novel Ahmad Tohari antara lain Belantik (Bekisar Merah 2) (2001), atau Orang-Orang Proyek (2004), Taufik Ikram Jamil dalam Gelombang Sunyi (2001), Gus TF Sakai dengan Ular Keempat (2005), dan sejumlah cerpen yang ditulis oleh para cerpenis Indonesia, secara umum dapat dianggap mencoba mengangkat cerita-cerita dengan basis daerah atau lokalitasnya masing-masing.
Novel-novel Kuntowijoyo secara tegas berpihak untuk kembali mengambil nilai-nilai dan norma budaya Jawa (Islam) sebagai basis pembentukan identitas. Dalam beberapa hal novel-novel Ahmad Tohari memiliki kesamaan semangat dan “visi” dengan novel-novel Kuntowijoyo. Oka Rusmini mengangkat problem kuasa patriaki dan kasta dalam kultur Bali. Jamil mencoba melihat peristiwa dramatis “sadisnya” kekuasaan dalam perspektifnya sebagai orang Melayu yang mengalami peristiwa penculikan. Dalam skala yang terbatas novel Kitab Omong Kosong (2004) karya Seno Gumira Ajidarma dan Manyura (2004) karya Yanusa Nugroho dapat ditempatkan dalam posisi ini karena cerita berbasis lokal Jawa dengan memanfaatkan cerita atau epos wayang.
Ketiga, kecenderungan lain yang tidak kalah menariknya adalah upaya eksplorasi diri (atau pencarian “jati diri”) yang dilakukan secara psikologis dan eksistensial. Sebutlah karya Puthut EA dalam Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (2005) dan Andri Nur Latif dalam Kereta Hantu (2005). Walaupun lebih kompleks, Dadaisme (2004) karya Dewi Sartika bisa ditempatkan dalam kategori ini. Sewaktu Indonesia mengalami reformasi, masyarakat Indonesia mengalami harapan yang positif dan menggembirakan. Masyarakat dipenuhi impian terhadap dunia (Indonesia) yang akan berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Mimpi-mimpi indah semakin terkubur dengan merosotnya kehidupan Indonesia dalam segala lini dan level kehidupan. Novel-novel tersebut (kembali) melihat dunia dengan muram dan gelisah, tidak penting apa itu lokalitas dan/atau lokalitas dengan basis ideologinya masing-masing. Novel-novel tersebut kembali ke dalam diri masing-masing, mencari jiwa yang terasing, kesepian, putus asa, dan gelisah menantang masa depan.
Dalam situasi dan konteks yang sedikit berbeda, konteks psikologisme ini juga muncul dari beberapa pengarang wanita terutama sebagai percarian keperempuanan yang “sesungguhnya”, sebagai upaya pembebasan dari hegemoni maskulin, sekaligus sebagai upaya untuk menarik perhatian bahwa ada dunia dan imaji lain yang berbeda dan perlu diakui sebagai sesuatu yang absah keberadaannya di dunia. Novel yang cukup menonjol dalam kasus ini adalah karya Ayu Utami dan Dewi Lestari yang telah disebut di depan, dan karya Djenar Maesa Ayu dalam Nayla (2005), atau karya Herlinatiens dalam Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), dan sebagainya.
Dalam novel, problem hegemoni laki-laki dalam masyarakat Indonesia sudah muncul sejak novel modern awal, tetapi dengan sangat terbuka dan lebih “vulgar” memang muncul pada era keterbukaan ini (reformasi). Istilah vulgar tentu saja tidak dimaksudkan sebagai novel-novel yang mengundang nafsu syahwat yang juga pernah ramai pada tahun 1970-an, seperti terdapat pada karya-karya Abdullah Harahap atau bahkan karya awal Motinggo Busye. Vulgaritas jender dan seksual novel-novel pasca Orde Baru lebih pada gagasan dan ide sehingga secara relatif justru tidak menimbulkan syahwat.
Keempat, maraknya novel-novel dengan misi “dakwah” yang kuat, seperti tampak pada novel-novel yang ditulis oleh rekan-rekan yang terkumpul dalam Forum Lingkar Pena. Novel-novel dari penulis Forum Lingkar Pena cukup banyak natara lain karya-karya Asma Nadia (Asmarani Rosalba) seperti Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2001) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2002), atau Helvy Tiana Rosa (Kakak Asma Nadia) dengan novelnya yang terkenal Ketika Mas Gagah Pergi (Mizan, 2000). Di Yogyakarta, penerbit Navilla cukup konsisten dengan menerbitkan novel-novel yang “Islami”. Maraknya novel-novel dengan kecenderungan dakwah dan upaya menegakkan syariat juga tidak terlepas dari kondisi sosial dan politik Indonesia.
Seperti diketahui, pasca Orde Baru, salah satu obsesi utama masyarakat Indonesia adalah  upaya menegakkan hukum dalam segala bidang kehidupan. Dengan tegaknya hukum, paling tidak korupsi (koruptor), manipulasi dan penyelewengan, dan berbagai kejahatan dapat lebih dikendalikan. Akan tetapi, sekali lagi, harapan hanya berlaku di atas kertas. Hingga hari ini berbagai reformasi yang dijanjikan tidak lebih pepesan kosong belaka, paling tidak hukum belum berjalan sebagaimana mestinya diharapkan oleh sebagian besar orang Indonesia. Berangkat dari kesadaran tersebut, ketika sejumlah orang menganggap bahwa hukum bernegara dan bermasyarakat  tidak mampu ditegakkan oleh negara, maka orang kembali melirik kemungkinan pemberlakukan syariat Islam. Dengan demikian, novel-novel yang mencoba memobilisasi wacana keislaman juga cukup marak di Indonesia. Pada tingkat kenyataan, di Indonesia, di beberapa tempat sudah mulai diberlakukan perda-perda dengan napas syariah yang kental.
Namun begitu, keempat kecenderungan tersebut bergerak secara sporadis, tumpang tindih, walaupun dalam beberapa hal berjalan sendiri-sendiri, berupaya menemukan bentuknya yang paling signifikan. Keterangan di atas hanya ingin memberikan suatu pengertian bahwa setiap warga berhak dan memiliki kebebasan untuk “bertujuan”. Namun, perlu ditekankan bahwa kehendak untuk melakukan kritik terhadap kehidupan, terhadap ketimpangan sosial dan politik, masih sangat menonjol dalam novel-novel Indonesia setelah tahun 2000. * * *
Aprinus Salam, staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar