Sebagai konsekuensi terakumulasinya kemampuan teknologis masyarakat
Indonesia, di Indonesia beberapa tahun ini mengalami banyak perubahan penting.
Salah satu yang paling signifikan dalam dunia kesusastraan adalah terjadinya
ledakan penerbitan buku-buku bacaan cerita (katakanlah novel), mulai dari
berjenis teenlit, chicklit, novel
sastra pada umumnya, termasuk di dalamnya antologi cerpen dan puisi, dan
sebagainya.
Saat
ini, kita menjadi tidak tahu siapa saja penulis karya sastra Indonesia, semua
orang menjadi penulis sastra. Khususnya teknologi komputer sangat membantu dan
memudahkan kemampuan tersebut, di samping tentu saja politik ekonomi bahwa
dunia kesusastraan sudah memasuki satu fase sebagai ajang yang mengutungkan.
Kita tahu, tampaknya krisis moneter seolah hanya terjadi di atas kertas, tetapi
kemampuan masyarakat membeli buku justru memperlihatkan peningkatan.
Karya-karya tertentu yang terkenal, seperti Dealova,
laku dipasaran hingga di atas 90 ribu eksamplar. Jumlah penjualan yang tidak
pernah bisa disamai oleh karya-karya Umar Kayam, atau bahkan karya-karya
Pramudya Ananta Toer.
Namun demikian, terdapat perbedaan substansial yang penting dibicarakan
berkaitan dengan perkembangan novel-novel Indonesia pasca Orde Baru, novel yang
ditulis dan diterbitkan setelah tahun 1998, dibanding dengan novel-novel pada
periode sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1920-an hingga 1940-an, seperti
tampak pada Siti Nurbaya, Azab dan
Sengsara, Salah Asuhan, Layar Terkembang,
hingga Belenggu, nasionalisme dan
identitas personal masih dianggap penting dan tidak beragam. Nasionalisme dan
identitas personal pada umumnya mengacu pada geo-politik, etnisitas, atau
agama. Pada Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya, bahkan hingga Salah Asuhan, didominasi oleh wacana
agama (Islam) sebagai perlawanan terhadap penjajah. Pelegitimasian dengan
sumber agama Islam tampaknya menjadi pilihan pertama karena para penulis waktu
itu banyak yang dari Minang (Sumatra Barat) yang juga hampir dapat dipastikan
beragama Islam.
Pada waktu yang lebih kurang bersamaan, terdapat sejumlah novel lain
yang pada umumnya ditulis oleh orang Jawa seperti Student Hijo karya Marco Katodikromo dan Hikayat Kadirun karya Semaoen, karya-karya yang waktu itu dianggap sebagai “bacaan liar” oleh
pemerintah kolonial Balanda. Novel-novel “bacaan liar” itu, juga sebagai
perlawanan terhadap pemerintahan yang berkuasa dengan mencoba menggerakan
semangat perlawanan berdasarkan ide atau isme sosialisme yang bergelora dan dimaksudkan
untuk menggerakkan semangat kerakyatan. Belakangan, setelah pemerintahan Orde
Baru turun, buku-buku yang dulu dianggap sebagai “bacaan liar” diterbitkan
secara bebas di Indonesia.
Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, seperti tampak pada Sendja di Djakarta dan sejumlah karya
Mochtar Lubis lainnya, wacana nasionalisme dan identitas personal yang mengacu
pada geo-politik cukup mengental sebagai mobilisasi untuk mengisi kemerdekaan.
Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, wacana nasionalisme yang mengacu pada geo-politik
masih hadir seperti tampak pada Maut dan
Cinta karya Mochtar Lubis. Akan tetapi, di lain pihak, seperti tampak pada
novel Seribu Kunang-Kunang karya Umar
Kayam, Pada Sebuah Kapal karya NH.
Dini, Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi AG, Burung-Burung Manyar karya
Mangunwijaya, dan Para Priyayi (199) karya Umar Kayam, dan sebagainya, tampaknya
wacana tradisonalisme-etnisitas menjadi dominan, atau pada waktu itu biasa
disebut sebagai sensivitas lokal (warna lokal). Hal itu terjadi tidak lain
sebagai respons terhadap wacana yang dimobilisasi negara seperti Pancasila,
pembangunanisme, wawasan nusantara, jati diri bangsa, yang dianggap gagal dalam
membangun nasionalisme dan identitas personal.
* * *
Terjadi
perubahan penting dalam novel-novel yang terbit di penghujung tahun 1990-an
atau awal tahun 2000-an. Novel-novel
pasca Orde Baru penting untuk dikaji mengingat terjadi perubahan besar konteks
sosial-politik dan “ruang ideologis” penulisan novel. Dari tinjauan ini
diharapkan dapat diketahui seberapa jauh perubahan wacana novel-novel yang
ditulis setelah rezim Orde Baru tersebut. Hipotesis tulisan ini adalah bahwa
ruang ideologis dan politis sangat berpengaruh terhadap lahirnya novel sehingga
novel-novel pada pasca Orde Baru tampak lebih berani dalam mengusung persoalan
yang pada masa Orde Baru dianggap “tabu”.
Paling tidak terdapat empat
kecenderungan besar wacana cerita dari ledakan buku sastra tersebut. Pertama,
kekuatan daya atur dan formasi global yang mengkonstruksi masyarakat menjadi
masyarakat jaringan (meminjam istilah Manuel Castells, 2001). Hal itu ditandai
dengan kecenderungan pada sebagian masyarakat Indonesia untuk memilih menjadi
bagian dari warga (jaringan) dunia. Dalam sastra hal tersebut ditandai dengan
novel-novel Saman (1999) karya Ayu
Utami dan Supernova (2001) karya Dewi
Lestari, dan beberapa yang lain.
Beberapa
novel dalam chicklit dan
teenlit Indonesia, yang
terkenal misalnya Dealova (2005),
karya Dyan Nuranindya, kemudian novel ini juga difilmkan, para tokohnya hampir
tidak pernah berpikir dalam posisi sebagai warga Indonesia. Beberapa tokoh
dalam film Cinta Silver (2005) bahkan
sudah menjadi bagian dari warga dunia. Pada tahun 2000-an ini Indonesia
mengalami ledakan novel dan antologi kumpulan cerita pendek yang jumlahnya ratusan,
dengan tema dan motif yang beragam dan variatif.
Kedua, daya tarik wacana kemandirian yang
mengedepankan wacana-wacana lokal, dan secara politik adalah praktik
desentralisasi yang bertumpu pada kemandirian daerah. Sebagian warga
dikondisikan untuk melakukan aktivitas dengan basis lokalnya masing-masing.
Dalam kesusastraan, isu dan wacana sastra lokal yang telah ramai dibicarakan
pada tahun 1980-an, kembali mendapatkan legitimasinya. Novel Kuntowijoyo dalam Mantra Penjinak Ular (2000) dan Wasripin dan Satinah (2003), Oka Rusmini dalam Tarian Bumi (2000), sejumlah novel Ahmad Tohari
antara lain Belantik (Bekisar Merah 2)
(2001), atau Orang-Orang Proyek
(2004), Taufik Ikram Jamil dalam Gelombang
Sunyi (2001), Gus TF Sakai dengan Ular
Keempat (2005), dan sejumlah
cerpen yang ditulis oleh para
cerpenis Indonesia, secara umum dapat dianggap mencoba mengangkat cerita-cerita
dengan basis daerah atau lokalitasnya masing-masing.
Novel-novel
Kuntowijoyo secara tegas berpihak untuk kembali mengambil nilai-nilai dan norma
budaya Jawa (Islam) sebagai basis pembentukan identitas. Dalam beberapa hal
novel-novel Ahmad Tohari memiliki kesamaan semangat dan “visi” dengan
novel-novel Kuntowijoyo. Oka Rusmini mengangkat problem kuasa patriaki dan
kasta dalam kultur Bali. Jamil mencoba melihat peristiwa dramatis “sadisnya”
kekuasaan dalam perspektifnya sebagai orang Melayu yang mengalami peristiwa
penculikan. Dalam skala yang terbatas novel Kitab
Omong Kosong (2004) karya Seno Gumira Ajidarma dan Manyura (2004) karya Yanusa Nugroho dapat ditempatkan dalam posisi
ini karena cerita berbasis lokal Jawa dengan memanfaatkan cerita atau epos
wayang.
Ketiga, kecenderungan lain yang tidak kalah menariknya adalah upaya
eksplorasi diri (atau pencarian “jati diri”) yang dilakukan secara psikologis
dan eksistensial. Sebutlah karya Puthut EA dalam Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (2005) dan Andri Nur Latif dalam Kereta Hantu (2005). Walaupun lebih
kompleks, Dadaisme (2004) karya Dewi
Sartika bisa ditempatkan dalam kategori ini. Sewaktu Indonesia mengalami
reformasi, masyarakat Indonesia mengalami harapan yang positif dan
menggembirakan. Masyarakat dipenuhi impian terhadap dunia (Indonesia) yang akan
berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Mimpi-mimpi
indah semakin terkubur dengan merosotnya kehidupan Indonesia dalam segala lini
dan level kehidupan. Novel-novel tersebut (kembali) melihat dunia dengan muram
dan gelisah, tidak penting apa itu lokalitas dan/atau lokalitas dengan basis
ideologinya masing-masing. Novel-novel tersebut kembali ke dalam diri masing-masing,
mencari jiwa yang terasing, kesepian, putus asa, dan gelisah menantang masa
depan.
Dalam
situasi dan konteks yang sedikit berbeda, konteks psikologisme ini juga muncul
dari beberapa pengarang wanita terutama sebagai percarian keperempuanan yang
“sesungguhnya”, sebagai upaya pembebasan dari hegemoni maskulin, sekaligus
sebagai upaya untuk menarik perhatian bahwa ada dunia dan imaji lain yang
berbeda dan perlu diakui sebagai sesuatu yang absah keberadaannya di dunia.
Novel yang cukup menonjol dalam kasus ini adalah karya Ayu Utami dan Dewi
Lestari yang telah disebut di depan, dan karya Djenar Maesa Ayu dalam Nayla (2005), atau karya Herlinatiens
dalam Garis Tepi Seorang Lesbian
(2003), dan sebagainya.
Dalam
novel, problem hegemoni laki-laki dalam masyarakat Indonesia sudah muncul sejak
novel modern awal, tetapi dengan sangat terbuka dan lebih “vulgar” memang
muncul pada era keterbukaan ini (reformasi). Istilah vulgar tentu saja tidak
dimaksudkan sebagai novel-novel yang mengundang nafsu syahwat yang juga pernah
ramai pada tahun 1970-an, seperti terdapat pada karya-karya Abdullah Harahap
atau bahkan karya awal Motinggo Busye. Vulgaritas jender dan seksual
novel-novel pasca Orde Baru lebih pada gagasan dan ide sehingga secara relatif
justru tidak menimbulkan syahwat.
Keempat, maraknya novel-novel dengan misi “dakwah” yang kuat, seperti tampak
pada novel-novel yang ditulis oleh rekan-rekan yang terkumpul dalam Forum
Lingkar Pena. Novel-novel dari penulis Forum Lingkar Pena cukup banyak natara
lain karya-karya Asma Nadia (Asmarani Rosalba) seperti Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2001) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2002), atau Helvy Tiana Rosa (Kakak Asma
Nadia) dengan novelnya yang terkenal Ketika
Mas Gagah Pergi (Mizan, 2000). Di Yogyakarta, penerbit Navilla cukup
konsisten dengan menerbitkan novel-novel yang “Islami”. Maraknya novel-novel
dengan kecenderungan dakwah dan upaya menegakkan syariat juga tidak terlepas
dari kondisi sosial dan politik Indonesia.
Seperti
diketahui, pasca Orde Baru, salah satu obsesi utama masyarakat Indonesia
adalah upaya menegakkan hukum dalam
segala bidang kehidupan. Dengan tegaknya hukum, paling tidak korupsi
(koruptor), manipulasi dan penyelewengan, dan berbagai kejahatan dapat lebih
dikendalikan. Akan tetapi, sekali lagi, harapan hanya berlaku di atas kertas.
Hingga hari ini berbagai reformasi yang dijanjikan tidak lebih pepesan kosong
belaka, paling tidak hukum belum berjalan sebagaimana mestinya diharapkan oleh
sebagian besar orang Indonesia. Berangkat dari kesadaran tersebut, ketika
sejumlah orang menganggap bahwa hukum bernegara dan bermasyarakat tidak mampu ditegakkan oleh negara, maka
orang kembali melirik kemungkinan pemberlakukan syariat Islam. Dengan demikian,
novel-novel yang mencoba memobilisasi wacana keislaman juga cukup marak di
Indonesia. Pada tingkat kenyataan, di Indonesia, di beberapa tempat sudah mulai
diberlakukan perda-perda dengan napas syariah yang kental.
Namun
begitu, keempat kecenderungan tersebut bergerak secara sporadis, tumpang
tindih, walaupun dalam beberapa hal berjalan sendiri-sendiri, berupaya
menemukan bentuknya yang paling signifikan. Keterangan di atas hanya ingin
memberikan suatu pengertian bahwa setiap warga berhak dan memiliki kebebasan
untuk “bertujuan”. Namun, perlu ditekankan bahwa kehendak untuk melakukan
kritik terhadap kehidupan, terhadap ketimpangan sosial dan politik, masih
sangat menonjol dalam novel-novel Indonesia setelah tahun 2000. * * *
Aprinus Salam, staf pengajar Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.