Pada tahun 1950-an hingga 1960-an (awal), sastra di Yogya (juga beberapa tempat lain), menjadi alat perjuangan ideologis dalam arti pertamanya. Dengan keras sastra melemparkan peluru-peluru ideologi sosialis, komunis, nasionalis, agamis, atau bahkan tradisionalis. Ada gairah di dalamnya. Perang ideologis itu berujung di tahun 1965.
Memasuki
paruh kedua 1960-an, karena lelah dan sedikit trauma, sastra Yogya mengalami
proses peredaan. Beberapa orang yang mengalami kesamaan “frustrasi”, mulai
berkomunitas. Salah satu komunitas yang signifikan adalah Persada Studi Klub
PSK), yang bahkan sebagian orangnya masih hidup seperti Mas Iman, Mas Ranu, Mas
Umbu, dan sebagainya.
Hal
penting dari PSK adalah ada proses-proses pengembangan individualisasi estetik
dan ideologis dengan gayanya masing-masing. Di sini, saya hanya mempersoalkan
sebagian substansinya, yakni adanya “dua pengelompokan” ideologi dan estetik,
mereka yang mencoba mereferensikan karyanya ke literatur klasik Jawa, dan
mereka yang mereferesikan karyanya ke sufisme Islam.
Pengelompokan
estetik dan ideologis PSK itu sangat berpengaruh pada perkembangan puisi Yogya
pada masa 1970-an akhir, dan terutama pada tahun 1980-an bahkan hingga 1990-an
(awal). Penyair seperti Iman, dan diikuti para yuniornya, memilih jalur
referensi Jawa Klasik. Sementara itu, “anak bungsu” PSK, Emha Nadjib, sudah
memperlihatkan gejala sufisme, yang nanti memunculkan Ahmadun, Mathori, Abdul Wachid,
dan sebagainya (Untuk penjelasan yang lebih lengkap lihat Oposisi
Sastra Sufi, LkiS, 2003).
Hal
yang perlu dicatat, walau Ahmadun pernah mengatakan bahwa tahun 1980-an-dan
1990-an (awal) Yogya melahirkan 1000 penyair sufi, tapi penyair itu lebih di
atas kertas. Terbutki hanya segelintir yang bertahan. Ada proses diskusi dan
inisiasi, salah satunya Pengadilan Puisi (Pengadilan Sastra), apakah seseorang
bisa “layak” disebut menjadi penyair atau sastrawan atau tidak. Eksistensi
kepenyairan dan atau kesastrawanan menjadi penting.
* * *
Dinamika sastra Yogya tahun 1980-an
dan 1990-an yang agak didominasi sastra sufi, ternyata di tahun 2000-an tidak
memperlihatkan kekuatannya. Beberapa penyair sufis masih menerbitkan puisi
sufinya, tapi gaungnya seperti memaksa kejayaan jadul. Sastra sufi kehilangan konteks. Guru besar sastra sufi
Yogya, Cak Nun, tampaknya tidak berminat lagi untuk terjun mengurus estetika
sufi dan umat penyairnya. Dia berkiprah dengan cara lain.
Justru mereka yang sekarang jadi
Guru Besar Sastrawan-Penyair dengan referensi Jawa Klasik, seperti Iman Budi
Santoso yang masih bertahan berkiprah di tahun 2000-an. Tentu Iman menjadi
setengah mati berhadapan dengan para penyair/sastrawan baru, bukan umat Cak Nun
dan juga bukan secara langsung muridnya. Iman menjadi terkejut berhadapan
dengan generasi baru, dan tidak siap menerima bahwa posisi Guru Besar
Keestetikannya ternyata juga mulai hambar.
Hal menarik adalah siapa penyair (sastrawan)
Yogya di tahun 2000-an. Jika dibayangkan bahwa mereka yang menjadi penyair
(sastrawan) baru di Yogya adalah mereka yang berumur 20-an hingga 30-an tahun,
maka diperkirakan mereka para penyair tersebut adalah yang lahir pada tahun
1970-an akhir, atau persisnya kelahiran 1980-an. Lahir di tahun 1980-an, sudah
pasti mereka tidak merasakan bagaimana sastra Yogya pada masa itu, bahkan
hingga tahun 1990-an.
Sastrawan atau penyair yang lahir pada
tahun 1980-an dan 1990-an, mereka besar dengan televisi dan koran, atau apa
yang biasa disebut sebagai media massa. Media massa ideologinya nasional,
walaupun hampir tidak menawarkan estetika. Mereka belajar estetika secara
serabutan dan menjadi “pengekor” penyair terkenal secara individual. Sementara
itu, ruang nostalgisnya juga belum besar/panjang, sehingga bayangan tentang
lokasi/tempat atau sesuatu yang bersifat historis, misalnya, hanya bisa mundur
hingga kondisi tahun 1980-an.
Di
samping itu, Indonesia yang semakin kapitalis memperlihatkan perubahan besar.
Persoalan ideologi dan estetika pada masa sebelumnya relatif selesai. Teknologi
komunikasi dengan cepat mengubah cara-cara komunikasi. Komunitas-komunitas
(sastra) berbasis komunikasi (SMS, Face Book, Twitter) menjamur. Dalam genangan
budaya kapitalis, jaringan visual maya, ideologi dan estetik bukan hal utama.
Eksistensi kepenyairan juga tidak penting.
Hal
utama adalah keterlibatan itu sendiri. Mereka tidak menawarkan apa-apa selain
mengais lagu-lagu lama. Yang tua merasa harus mengajar banyak hal bagaimana
menjadi penyair atau sastrawan. Yang muda sibuk mencari jurus-jurus baru. Ada
yang sukses dan mendapatkan legitimasi sebagai penyair atau sastrawan, sebagian
di antaranya bahkan kadang terlalu memaksa diri.
Kita
tahu, saat ini banyak komunitas berbasis komunikasi eksis. Penggemarnya juga
banyak, walaupun orangnya sekitar itu-itu saja. Sebagian nunggu diakui untuk
terlibat dengan membuat kumpulan puisi atau cerpen atau bahkan novel. Sebagian besar
hadirin yang lain, ada di mana-mana sebagai penggembira, berharap cemas
bertanya apa yang baru? ***
Aprinus Salam, penggembira
sastra tinggal di Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar